PEMBAHASAN
“PERADABAN
ISLAM SETELAH KEMERDEKAAN”
A.
Peradaban Islam Setelah Kemerdekaan
1. Departemen0Agama
Setelah kemerdekaan Indonesia, para pemimpin rakyat Indonesia sepakat
menerapkan bentuk Republik dalam pemerintahan Indonesia. Dan berdasarkan pada
asas pancasila dan UUD 1945. Dalam pancasila ditemukan kesamaan dengan ajaran
Syariat Islam dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama umat Islam. Dalam struktur
pemerintahan Republik Indoesia dibentuk departemen Agama yang dulu bernama
kementrian agama. Yang didirikan pertama kali pada masa kabinet syahrir sampai
sekarang mentri agamanya masih dipegang oleh seorang muslim. Kepala negara dan
mentrinya mayoritas dari kaum muslimin.
Sebelum terbentuknya kementrian ini, ada pembahasan mengenai apakah kementrian
ini akan dinamakan kementrian agama Islam ataukah kementrian agama saja.
Akhirnya diputuskan menjadi kementrian agama, yang pertama-tama mempunyai tiga
seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing kaum muslimin, umat protestan,
umat katholik, dan umat hindu budha (dulu disebut agama Hindu Bali).
Sesuai dengan perkembangan departemen
ini strukturnya berkembang dari yang hanya terdiri dari empat seksi, sekarang
terdiri dari lima direktorat jendral, yaitu direktorat jendral bimbingan
masyarakat Islam dan urusan haji, direktorat jendral pembinaan kelembagaan
agama Islam, direktorat jrndral bimbingan masyarakat katholik, direktorat
jendral bimbingan masyarakat protestan, dan direktorat jendral bimbingan
masyarakat hindu dan budha. Menti agama juga dibantu oleh lembaga inspektorat
jendral, sekretariat jendral, badan penelitian dan pengembangan (balitbang)
agama dan pusat pendidikan dan latihan (pusdiklat) pegawai.
2. Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama
setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama islam mulai
mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam
bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini
juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah. Departemen
Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan
pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi pengangkatan guru-guru agama,dan
mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan
latihan 90 guru agama, 45 orang di antaranya kemudian diangkat sebagai guru
agama. Pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim di Solo.
Haji
Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah
Normal Islam di Padang, menyusun rencana pembangunan pendidikan Islam. Ketika
itu mengepalai seksi Islam dari Kantor Agama Propinsi.Dalam rencananya,
ibtidaiyah selama 6 tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan tsanawiyah atas 4
tahun.Gagasannya ini dilaksakan di Lampung (waktu itu karesidenan) tahun
1948.Sementara itu, Aceh menyelenggarakan rencananya sendiri.Banyak
sekolah-sekolah swasta di daerah ini dijadikan negeri, sekurang-kurangnya
memperoleh subsidi dari pemerintahan.Mahmud Yunus juga menyarankan agar
pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah “umum” yang disetujui oleh
konperensi pendidikan se-Sumatera di Padang Panjang, 2-10 Maret 1947.
3.
Hukum0Islam
Lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama
adalah Hukum atau Syari’at. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya
pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi. Hukum muamalat terbatas
pada persoalan nikah, cerai dan rujuk, hukum waris (faraidh), wakaf, hibah, dan
baitul mal.
Keberadaan lembaga peradilan agama di
masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa kolonial belanda. Pada masa
pendudukan jepang, pengadilan agama tidak mengalami perubahan. Setelah
Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah, tetapi administrasinya
tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam nampak ketat dan kaku karena
hanya berpegang pada madzhab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab
undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan
pengadilan Agama di dominasi oleh golongan tradisionalis.
Kemantapan
posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional semakin meningkat setelah
Undang-Undang Peradialan Agama ditetapkan tahun 1989.Undang-Undang Peradilan
Agama ini merupakan kelengkapan dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 disebutkan:
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: (a) Peradilan
Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha
Negara. Sebagai suatu undang-undang lain untuk mengatur empat lingkungan
peradilan yang diundangkan dalam UU itu, antara lain UU tentang Peradilan
Agama.
4.
Haji
Indonesia termasuk negeri yang banyak
mengirim jamaah haji.Di masa penjajahan tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927
ketika sekitar 52.000 orang pergi ke Mekah.Sungguhpun angka itu baru pada
tahun-tahun terakhir terlewati, tetapi umumnya dalam keadaan biasa jumlah
jamaah meningkat cepat karena memang keinginan menunaikan ibadah haji semakin
kuat.Angka tertinggi sampai tahun 1992, yaitu sekitar 107.000 orang jamaah haji
Indonesia diberangkatkan.
Sejak awal
tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah, termasuk menteri, yang
tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci.Bahkan dari kalangan merekalah amir
al-hajj (pemimpin jamaah haji) Indonesia ditunjuk.
Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat
islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam
penyelenggraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi
selama zaman jajahan keinginan ini tidak terwujud.Setelah Indonesia merdeka,
usaha ini dilanjutkan.Pada tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan
Haji Indonesia, didirikan di Jakarta.Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan
itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia,
dan sebuah perusahan kapal, Perlayaran Muslimin Indonesia (MUSI) didirikan.
Tetapi sepuluh tahun kemudian perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari
perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai kapal sendiri. Cara ini ditempuh sampai
tahun 1962, ketika MUSI dibekukan oleh pemerintah, mungkin sekali karena
pertimbangan politik.Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, Petugas Haji
Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan naik haji, juga
dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah anggota masyumi, partai yang telah
dibubarkan.
5.
Majelis
Ulama’ Indonesia
Disamping Departemen Agama, cara lain
pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan
Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama
hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama.Karena itu kerjasama
antara pemerintah dan ulama perlu terjalin dengan baik.Pertama kali majelis
ulama didirikan pada masa pemerintahan SMajelis ini pertama-tama berdiri di
daerah-daerah karena diperlukan untoekarno.uk menjamin keamanan. Di jawa barat
berdiri pada tanggal 12 Juli 1958, diketuai oleh seorang panglima militer.
Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961,Majelis Ulama
ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah
dan pendidikan.
Dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama
Indonesia yang disah kan dalam kongres tersebut, disebutkan bahwa Majelis Ulama
Indonesia berfungsi:
1. Memberi
fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kepadapemerintah dan umat Islam umumnya
sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2. Mempererat
ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar
umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Mewakili islam dalam konsultasi antar umat
beragama.
4. Penghubung antra ulama dan umara
(pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat
guna menyukseskan pembangunan nasional.
B. Peran Islam dalam Kemerdekaan
Agama Islam
ternyata begitu kokoh tertanam dalam nurani bangsa Indonesia, sehingga semangat
perjuangan mereka, khususnya para pahlawan kita tidak pernah pudar
sedikitpun sampai titik darah penghabisan.
Islam telah
mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan
kesucian. Karena itu jika kaum penjajah berani menghancurkan kebenaran dan
kejujuran, serta berani menodai kesucian, mereka akan membelanya pantang
menyerah. Islam juga mendidik karakter bangsa Indonesia kayakinan akan adanya
hidup di balik maqam, keyakinan dan adanya ancaman keburukan serta balasan atas
kebaikan. Maka untuk membela kebenaran mereka bersedia berjihad di jalan Allah.
Demikian pula Islam juga mendidik karakter: “Jika engkau menolong (agama)
Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Q.S.
Muhammad:47)
Perlu
diketahui bahwa perjuangan membela kebenaran, menegakkan perikemanusiaan dan
perikeadilan termasuk menolong agama Allah. Sungguh, begitu besar jasa Islam di
masa lalu, maka kepada para penulis sejarah hendaklah tidak mengecilkan peran
umat Islam di nusantara ini, sehingga para generasi penerus tidak buta terhadap
peran Islam dan umatnya tersebut.
Setelah 66
tahun kemerdekaan negeri ini, adalah sebuah kepatutan bagi umat Islam Indonesia
untuk mengambil peran besar dalam pembangunan ini seperti besarnya umat Islam
di masa lalu. Sebab jika peran kita lebih besar, kita akan mampu menentukan
arah pembangunan yang lebih manusiawi, hingga insyaallah dapat melepaskan diri
dari penyakit peradaban kita yakni KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepostisme).
C. Peradaban Islam dan Negara Pancasila
Nasionalisme
merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang menyatakan bahwa kesetiaan
individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, sebagai ikatan yang erat
terhadap tumpah darahnya. Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib akan
melahirkan rasa nasionalitas yang berdampak pada munculnya kepercayaan diri,
rasa yang amat diperlukan untuk mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh
suatu keadaan yang lebih baik. Dua faktor penyebab munculnya nasionalisme,
yaitu faktor intern dan ekstern.Faktor pertama sebagai bentuk ketidakpuasan
terhadap penjajah yang menimbulkan perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan
atau peperangan.Sedang faktor kedua sebagai renaissance yang dianggap simbol
kepercayaan atas kemampuan diri sendiri.
Selain
kondisi bangsa Indonesia berada dalam dominasi politik, militer dan ekonomi
bangsa-bangsa asing, nasionalisme Natsir muncul atas dorongan ajaran agama yang
diyakininya yang mewajibkan kepada setiap Muslim untuk mencintai tanah
airnya.Karena itu, nasionalisme merupakan bagian dari Islam yang selalu
mengajarkan agar mengenal kebudayaan dan bangsa-bangsa lain tanpa menanggalkan
pribadinya sebagai Muslim. Inilah yang dimaksud nasionalisme Islami, yaitu
orang-orang yang tetap komitmen pada pandangan bahwa negara dan masyarakat
harus diatur oleh Islam sebagai agama yang, -dalam arti luas-, bukan hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan antara sesama
manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam dan lain-lain sebagainya.
Sementara nasilonalis sekuler sebaliknya, yakni tanpa perhatian melihat
keterpautannya dengan agama.
Wajar jika
nasionalisme dan Islamisme selalu hadir berdampingan dalam sejarah bangsa
Indonesia, bahkan selama masa penjajahan, agama menjadi aspek yang menegaskan
perjuangan nasional. Selain organisasi-organisasi nasional, seperti Jong Java,
Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Ambon dan lainnya, tidak sedikit
gerakan-gerakan yang berasaskan ke-Islam-an banyak yang tampil menjadi pelopor
dan penggerak bangkitnya nasionalisme. Artinya kekuatan nasionalisme an
Islamisme melebur menjadi satu dalam memerangi segala bentuk penjajahan.Bahkan
dalam sejarah Indonesia, keduanya menjadi kekuatan besar yang terpadu dalam
merebut kemerdekaan Indonesia.
Bahkan
pergerakan organisasi keagamaan sejak awal telah memiliki kesadaran kebangsaan
dan nasionalisme.Wadah-wadah seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, dan
lainnya telah berhasil menyingkirkan sifat kepulauan dan
keprovinsian.Organisasi ini memulai gerakannya dengan menanamkan persaudaraan
antar sesama rakyat yang berada di luar batas Indonesia dengan ikatan
ke-Islam-an. Karena itu, ikatan persaudaraan yang melewati lintas etnik,
budaya, politik tersebut terus dipertahankan secara konsisten.Sebab,
persaudaraan yang diikat oleh kesadaran keagamaan ini menjadi benih-benih
tumbuhnya sikap nasionalsime dan kesadaran mempertahankan NKRI.
Kaitannya
hubungan antara Islam dan negara, pemikiran Natsir berorientasi pada paradigma
integralistik; yaitu penyatuan antara agama dan negara secara utuh.Artinya,
dirinya menentang gagasan yang lebih menyukai pemisahan antara agama dan negara
(sekularistik).Uraian kenegaraan menurutnya menjadi satu bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari Islam.Karena itu, tujuan terbentuknya suatu negara adalah
untuk melaksanakan undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan
individu maupun sosial.Natsir tidak menentukan model negara yang dikehendaki
oleh Islam, sebab bentuk negara menurutnya merupakan urusan keduniaan.Karena
itu, manusia memiliki kebebasan menentukan model suatu negara yang hendak
dibentuknya.Monarki boleh, republikpun tidak dilarang.Ia lebih menekankan pada
sisi aplikasi penyelenggaraan suatu negara. Namun ketika mengusulkan
ide-idenya, kelihatannya ia lebih cenderung pada bentuk negara republik
ketimbang monarki. Hal ini dapat dilihat dari pemikirannya mengenai demokrasi,
penekanannya terhadap sistem syura (musyawarah) dalam proses pengambilan
keputusan, yang tampak lebih dominan.
PENUTUP
KESIMPULAN
Peradaban Islam sesudah kemerdekaan ditandai dengan
dibentuknya Departemen Agama dalam pemerintahan, pendidikan, Hukum Islam, Haji,
dan Majelis Ulama’ Indonesia.
Islam telah
mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan
kesucian. Karena itu jika kaum penjajah berani menghancurkan kebenaran dan
kejujuran, serta berani menodai kesucian, mereka akan membelanya pantang
menyerah. Islam juga mendidik karakter bangsa Indonesia kayakinan akan adanya
hidup di balik maqam, keyakinan dan adanya ancaman keburukan serta balasan atas
kebaikan.
nasionalisme
Islami, yaitu orang-orang yang tetap komitmen pada pandangan bahwa negara dan
masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama yang, -dalam arti luas-, bukan
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan antara
sesama manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam dan lain-lain
sebagainya. Sementara nasilonalis sekuler sebaliknya, yakni tanpa perhatian
melihat keterpautannya dengan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007).
http://www.surabayapagi.com